Bisikan Hati Seorang Amerika
Publikasi:20/01/2004 08:27
WIB
Hello! You ? Oh my, why did
you never call me for along time? Suara itu datang dari jauh di seberang sana, San Antonio, negara bagian Texas, Amerika Serikat.
Pemiliknya, Eduard Longoria. Pria berusia 62 tahun, seorang guru, staf pengajar sebuah sekolah menengah di Eagle Pass. Dari
nada suara yang saya tangkap, seolah-olah dia tidak yakin bahwa sayalah peneleponnya. Setahun ini kami memang nyaris tidak
lagi pernah kontak. Sebenarnya saya sudah berusaha beberapa kali mencoba hubungi lewat ponsel dan emailnya, tetapi saya ketahui
kemudian keduanya tidak lagi aktif. Dering telepon diawal tahun ini paling tidak membuat dia lega, bahwa saya tidak melupakannya
sebagai seorang teman. Ya! Kami sudah berteman, distance friendship, tidak kurang dari 15 tahun terakhir ini. Selama itu pula
kami tidak pernah ketemu, kecuali pada awal pertama ketika saya kenal dengannya sebagai seorang pasien, dan enam bulan sesudahnya.
Mulanya dugaan saya pasien yang
satu ini orang Arab Libanon, karena penampilannya mirip-mirip orang Libanon yang ke-eropa-an. Kulit kemerahan, rambut pirang,
sebagian nampak beruban, bermata biru, kumis tebal, dan postur tubuh sedang. Siapa pernah menyangka orang Amerika tiba-tiba
muncul di rumah sakit, di tengah-tengah orang Arab? Kehadirannya di depan counter, bangsal dimana saya bekerja, pagi hari
itu, mengotomatiskan sapaan umum saya, sebagai petugas kesehatan kepada pengunjung. Inta marid...? (Anda pasien?) sapaku dalam
Bahasa Arab. I dont speak Arabic! jawabnya ringan. Sorry..! Kataku mohon maaf. Saya tunjukkan tempat tidurnya di sudut bangsal.
Dengan hanya berbekal sebuah tas kecil berisi sejumlah buku bacaan dia segera membaringkan diri di kamar pojok tersebut. Eduard
mengalami gangguan sistem perkencingan.
Ada darah Spanyol mengalir pada
tubuh pria ini. Prasangka awal saya membenarkan, dari namanya, sekalipun dilahirkan di bumi Paman Sam. Pertemuan kami terjadi
di Kuwait, sesaat sesudah Perang Teluk, antara Irak-Kuwait. Eduard mengikuti program rekrutmen guru di Texas untuk ditempatkan
sebagai tenaga pengajar pada American School of Kuwait. Selama rawat tinggalnya, disela-sela kekosongan waktu yang ada, misalnya
dinas sore atau malam, saat Eduard terjaga, nampaknya dia butuh teman berbicara, saya menemuinya. Banyak obrolan yang bermanfaat
diantara kami. Katakanlah sharing, berbagai topik. Orang Amerika tidak seperti apa yang anda lihat di film-film! katanya suatu
saat ketika saya bertanya tentang kondisi lingkungan tempat tinggalnya di Texas. Ada nilai-nilai sosial yang mereka tetap
junjung tinggi, baik itu soal penggunaan etika berbahasa maupun pergaulan. Hanya saja, sebagaimana akar budaya yang berbeda,
apa yang berlaku di negeri lain, belum tentu bisa diberlakukan disana. Apa yang tabu di negeri kita, tidak mesti tabu di Amerika
Serikat.
Misalnya, pada satu kesempatan Eduard
memberitahu saya, dia diundang oleh temannya, sepasang guru yang akan meninggalkan Kuwait. Saya ditawari pula. Diajak serta
memenuhi undangan makan malam di sebuah restoran di down town, Kuwait City. Tentu saja saya senang. Hanya saja yang tidak
saya mengerti, ketika sebelum berangkat Eduard memberikan sejumlah uang kepada saya untuk pembayaran bill makan malam nanti.
Katanya diundang makan? Koq menyiapkan duit pembayarannya segala? tanya saya dalam hati. Keraguan saya terjawab ketika kami
berempat selesai makan. Ternyata, meski kita diundang, harus bayar sendiri-sendiri. Bayangkan jika itu terjadi di negeri kita?
Memang beda kan?
Gangguan kesehatan yang menimpa
Eduard, tepatnya pada prostatnya, tidak bisa diharapkan bakal pulih dalam waktu yang singkat. Beberapa kali dia harus pulang
balik ke RS, hal yang membuat kami pada akhirnya lebih akrab. Kadang saya diundang ke apartemenya, dikenalkan kepada sesama
guru asal AS, diantaranya Ms.Carole dan Mr. Keith. Sejauh pengetahuan saya, orang-orang Amerika ini memang tidak seperti mereka
yang ada di film-film, apalagi seperti George W. Bush yang pandangannya miring tentang Islam. Mereka baik sekali dalam menjamu
tamu, terbuka, dan sopan sebagaimana profesinya, guru. Bergaul bersama mereka memberikan wawasan dan pengkayaan pengalaman
hidup yang tersendiri bagi saya.
Berbagai persoalan hidup sempat
kami diskusikan, tidak cuman terbatas pada kesehatan dan sosial budaya saja, juga agama. Sekali saya menyinggung soal Spanyol,
yang dulunya dikenal sebagai Andalusia, negeri nenek moyang Eduard, yang dijawab dengan anggukan kepala ketika saya kemukakan
bahwa mereka adalah orang-orang Islam yang terkhianati.
Dalam sebuah buku yang berjudul
The Story of Islamic Spain, karya Syed Azizur Rahman (2001), disebutkan bahwa kaum Muslim Andalusia lenyap dari sana sesudah
mengukir salah satu peradaban yang paling besar dalam sejarah Eropa. Keturunan mereka kini tidak lagi eksis di Spanyol, dimana
selama berabad abad mereka tinggal, saling mengasihi sesama, berani bertarung dengan musuh, menciptakan keindahan, dan menjunjung
tinggi ilmu pengetahuan. Walaupun begitu, sisa-sisa keberadaan mereka masih tetap bisa dirasakan hingga kini. Eduard, sebagai
seorang guru yang tahu sejarah, diam saja menyimak, saat sejarah kebesaran perjuangan Islam ke Spanyol yang dipimpin Tariq
Ibn Ziyad pada tahun 711 sesudah Masehi ini saya singgung. Tanda setuju? Wallauhualam!
I know Islam is a good religion!,
pernyataan itu keluar ketika saya katakan bahwa agama yang dianutnya selama ini bukanlah agama yang benar. Saya tunjukkan
beberapa buah buku-buku kecil karya Ahmed Deedat yang saya harapkan bisa turut mewarnai bacaan-bacaan novel petualangan yang
berjajar di rak bukunya. Saya berikan pula kopiah hitam dan sebuah sarung Samarinda sebagai kenangan. Dari wajahnya saya ketahui
apa yang dikatakannya adalah pernyataan jujur, tidak sekedar membuat lawan bicaranya senang. Nilai-nilai positif inilah yang
membuat saya, sebagai orang asing dimatanya, cukup kagum, terutama keterbukaannya terhadap kebenaran sebuah agama. Dia pernah
katakan It is still very difficult for me to apply Islam to be my religion among my own people! Saya paham betul apa yang
dikatakan, karena pindah agama, tidak semudah membalik tangan!
Pernyataan Eduard tentang Islam
ternyata bukan hanya terbatas di mulut. Beberapa bulan sebelum kami kenal dia malah sudah belajar Bahasa Arab di Islamic Propagation
Center (IPC) Kuwait City. Dia bilang, dia satu-satunya orang Amerika yang mengikuti kursus disana. Saya lihat buku-buku kursus
Arabnya. Dia belajar menulis dan merangkai mulai dari Alif, Baa, Tha...hingga Ya.....! Gaya tulisannya mengingatkan saya ketika
baru belajar mengaji pada bulan-bulan pertama di rumah Kyai Arif di kampung kami. Tahu gaya tulisan Arab anak-anak kan? Sebagai
pemula, penuh coretan, layaknya belajar menulis pertama kali. Eduard tertawa kecil ketika saya kemukakan bagaimana anak-anak
di Indonesia belajar menulis arab di madarasah. Coba saja saya seorang ustadz, barangkali saya bisa bantu mengajarinya.
Saya tahu, Nabi Isa bukanlah Tuhan
katanya. Saya tidak menyembahnya! lanjutnya. Kenapa kamu tidak masuk Islam saja? Tanyaku ingin tahu lebih dalam. Kelihatannya
saya sudah masuk terlalu dalam ke sisi kehidupan pribadinya yang bagi kebanyakan orang-orang Barat sebenarnya bersifat personal
dan kita orang luar tidak perlu campur tangan. Sekali lagi, niat saya bukan mencampuri urusan pribadinya. Sebagai umat Islam
saya tidak ingin orang semacam dia yang pada dasarnya mau membuka hatinya untuk menerima kebenaran, terperosok lebih jauh
kedalam kesesatan. Barangkali dia sedikit butuh encouragement. Yang saya sadari adalah kendati hidayah hanya datang dari Allah
SWT, tugas kita adalah menyampaikan pesanNya, betapapun hanya satu ayat.
Sayangnya niat saya tidak kesampaian.
Eduard keburu balik ke negeri asalnya. Terbang bersama KLM, transit di Filipina sebelum meneruskan perjalanannya ke Los Angeles,
pangkalan dimana dia harus mendarat pertama kali sebelum melanjutkan lagi ke Texas. Selama di Filipina, sebulan disana, koresponden
kami berlangsung terus. Setidaknya dua kali surat yang saya terima dari Baougio, kota sejuk tujuan wisata di negerinya Mrs.Arroyo.
Disana Eduard berkisah tentang masih dirasakannya gangguan saluran perkencingan yang dialaminya, dimana beberapa kali terjadi
perdarahan.
Usianya saat ini tergolong tua,
katakanlah kakek buat ukuran rata-rata orang kita. Faktor umur ini tidak membuat minat Eduard surut untuk melanjutkan studinya.
Semangat belajar dan membacanya tinggi. Itu saya ketahui disaat-saat senggang. Bahkan pada saat memasak di dapur, ataupun
mencuci (tentu saja dengan washing machine), sambil membaca. Sebuah nilai positif lagi yang bisa saya petik darinya.
Yang mengharukan adalah, ketika
diceriterakannya dia harus pisah dengan sang istri. Dia merasa dikhianati wanita asal Mexico beberapa tahun sebelum berangkat
ke Kuwait. Meski begitu, I am strong enough! katanya tanpa ekspresi sombong. Orang Amerika umumnya memang tidak segan-segan
menunjukkan kelebihannya yang bagi orang kita tabu. Hidup sendiri di apartemenya tidak menjadi masalah, semua kerjaan dilakukannya
sendiri. Anaknya, Jefrey, saat ini tinggal bersama bekas istri dan mertuanya. Seminggu sekali Eduard mengunjungi Jefrey, biasanya
weekend.
Perbedaan agama yang ada diantara
kami tidak menjadikan penghalang untuk terus berteman tanpa harus menjaga jarak sebagai sesama manusia, umatNya. Hampir 15
tahun sudah kami berteman, selama itu pula saya tidak pernah mengirimkan Kartu Natal, Tahun Baru ataupun ucapan Selamat Ulang
Tahun kepada Eduard. Dia sangat menghormati keyakinan saya, bahwa di dalam Islam kami dilarang memberikan ucapan-ucapan tersebut
yang pada intinya adalah doa. Padahal untuk menerapkan perlakukan yang sama di Indonesia konsep gaul antar umat beragama semacam
kami bisa saja akan sulit. Keterusterangan itu kadang terasa pahit!
Sewaktu dia sudah berada di Amerika,
saya kirimkan beberapa brosur-brosur tentang Islam. Sebagai imbalannya, saya juga dikirimin Bible King James Version, sekedar
menambah wawasan saya tentang ajaran Katolik yang dianutnya. Ketika Eduard meminta saya untuk mendoakan perbaikan kondisi
sistem perkecingannya yang memakan waktu bertahun-tahun, sempat saya katakan Ya!. Saya katakan ya dalam arti saya memohon
kepada Allah SWT agar dibukakan pintu hati Eduard olehNya. Agar dia mendapatkan hidayahNya. Agar suara hati Eduard terhadap
Islam selama ini segera menyeruak.
Setahun sesudah kepulangannya dari
Kuwait dan tinggal di AS, dia berangkat lagi ke Saudi Arabia, tepatnya di Dammam. Jadi, harapan saya tidaklah berlebihan.
Eduard sudah belajar banyak tentang kehidupan orang-orang Islam di tanah Arab, mempelajari Bahasa Arab, membaca buku-buku
Islam, dan mengenal pula sejumlah muslim. Anak-anak Arab nakal-nakal. Tapi di Amerika murid-murid kami jauh lebih nakal katanya
ketika mengomentari perbandingan sebagian pengalaman mengajarnya antara di AS, Kuwait dan Saudi. However Ive seen many good
moslems, akunya tanpa memperlihatkan ekspresi pujian. Orang-orang Amerika di tanah Arab umumnya mendapatkan perlakuan yang
lebih. Pelayanan kesehatan gratis, pemondokan rumah tanpa bayar, dan tax-free salary adalah sejumlah fasilitas yang bisa saja
malah sulit didapatkan di AS. Subhanallah! Sebuah alasan yang wajar jika mereka betah di Timur Tengah.
Sayangnya, serangkaian pengalaman
ini tidak cukup bisa kita gunakan sebagai landasan bahwa Eduard lantas akan memeluk Islam. Bagi saya pribadi, minimal, dari
sanalah saya bisa berasumsi bahwa gambaran Eduard terhadap Islam adalah jauh dari kesan negatif. Dua kali keberangkatannya
ke Timur Tengah dari AS nyatanya bukan semata didasari oleh faktor finansial. Jika hanya karena uang, di Amerika Eduard juga
gajinya besar. Sebaliknya, itu suatu pertanda positif, bahwa orang-orang diluar Islam semacam dia justru menaruh simpati,
merasa dilindungi dan dihargai hak-haknya oleh kaum muslimin kala dia tinggal diantara mereka. Siapa tahu pengalaman yang
telah dipetik Eduard bisa ditularkan kepada teman-temannya, murid-muridnya, dan orang-orang Amerika lainnya. Bahwa Islam sebagai
agama yang cinta damai, tidak identik dengan aneka ragam terorisme yang selama ini banyak digembar-gemborkan oleh media masa
Amerika Serikat.