Sebuah Jembatan Yang Terbangun
Dari Kata-Kata
Warisan
Annemarie Schimmel
Penulis: Pangestuningsih
Musim semi 1996. Perempuan berperawakan
mungil itu menjadi satu-satunya pusat perhatian dalam pertemuan yang dihadiri para penulis, penerbit, dan pejabat tinggi Jerman,
termasuk Presiden Roman Herzog. Perempuan itu, Annemarie Schimmel, berbicara tentang kata. "Kata yang baik laksana pohon yang
baik...", demikian dia mengutip Al Quran. "Kata diyakini sebagai suatu kekuatan kreatif oleh sebagian besar agama di dunia;
katalah yang mengantarkan wahyu; kata diamanahkan kepada umat manusia sebagai titipan yang harus dijaga, jangan sampai ada
yang teraniaya, terfitnah, atau terbunuh oleh kata-kata."
"Kata memiliki kekuatan yang tak
dapat kita ukur. Dan pada kekuatan kata inilah terletak tanggung jawab para penyair, lebih-lebih lagi para penerjemah, karena
satu kesalahan samar saja dapat memicu kesalahpahaman yang berbahaya."
Nyata benar pesan yang disampaikan
Schimmel saat menerima penghargaan tahunan Peace Prize dari German Books Trade itu bukan sekadar sambutan seremonial.
Persis setelah namanya diumumkan sebagai pemenang Peace Price setahun sebelumnya, sekitar dua ratus intelektual Jerman
dan Eropa memprotes penganugerahan tersebut. Lewat kata-kata, mereka menuding Schimmel mendukung apa yang mereka namakan sebagai
"fundamentalisme Islam"--sebuah kampanye yang disebut Schimmel telah "menghancurkan apa yang saya bangun hampir seumur hidup
saya, melukai hati dan pikiran saya...." Kendati demikian Schimmel tetap berbesar hati bahkan memanjatkan doa, "Semoga mereka
yang menyerang saya bahkan tanpa mengenal saya secara pribadi atau membaca karya-karya saya, tidak akan mengalami luka seperti
yang saya rasakan."
Ketulusan Schimmel itu tentu tak
lepas dari masa panjang kehidupan yang dilaluinya dengan merawat dan mencintai "kata-kata yang baik". Wanita kelahiran Erfurt,
Jerman, ini belum lama beranjak dari usia 10 tahun ketika dia terpikat pada puisi-puisi berbahasa Arab. Lewat jalan kata-kata
pula dia mengenal sejarah dan kebudayaan Islam, menekuni kajian Islam dan menghasilkan karya-karya monumental seperti Gabriel's
Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal; Mystical Dimensions of Islam; And Muhammad is His Messenger;
A Two Colored Brocade: The Imagery of Persian Poetry; Calligraphy and Islamic Culture.
Demikian besar keyakinan Schimmel
pada kata-kata, seyakin dia pada moto penyair Jerman Friedrich Ruckert, bahwa "Puisi semata mampu menuntun manusia menuju
rekonsiliasi dunia." Puisi, menurut Ruckert, adalah "lidah utama umat manusia"; puisi menghubungkan manusia karena ia menjadi
bagian dari setiap peradaban di dunia.
Schimmel menggambarkan kekuatan
kata dalam membangun hubungan antarmanusia ini dengan menyitir sebuah cerita dalam tulisan Mawlana Jalaluddin Rumi. Dalam
prosa berbahasa Persia itu, Rumi--sufi dan penyair abad 13 yang mendapat perhatian besar Schimmel selain penyair Pakistan
Muhammad Iqbal--mengisahkan seorang anak laki-laki yang sering mengeluh pada ibunya tentang sosok hitam yang menakutkannya.
Akhirnya sang ibu menasehati agar anaknya menyapa saja sosok hitam tersebut, karena sifat sosok itu bisa diketahui dari jawabannya
terhadap sapaan kita. Sebab kata-kata, sebagaimana sering dinyatakan para penyair Persia, menyingkapkan sifat pembicaranya
layaknya bebauan--persis dengan kenyataan bahwa kita tak mungkin tertipu oleh kue yang bertabur bawang putih, bukannya almond,
kendati penampilannya sungguh mengundang selera.
Pesona kata jua yang telah membawa
Annemarie Schimmel melanglang berbagai kawasan masyarakat Muslim; masyarakat yang disebutnya lebih terpesona pada kata dan
bahasa, berbeda dengan rekannya di Barat yang lebih terpikat pada musik. Di usianya yang masih belia ketika itu, sebagai profesor
Sejarah Agama di Universitas Ankara, Schimmel seolah mengenali kembali sudut-sudut Istanbul masa lalu melalui baris-baris
tentang kota indah itu, yang didendangkan para penyair Turki selama hampir lima abad. Schimmel pun mampu mencintai budaya
Pakistan melalui syair-syair yang dinyanyikan di seluruh provinsi di negara itu. Schimmel juga sempat mencatat pengalaman
seorang mahasiswanya, satu di antara warga Amerika yang disandera di Teheran saat terjadi Revolusi Iran. Sang mahasiswa menyadari
perubahan sikap penyanderanya, ketika dia melafalkan sebuah syair Persia. Kata-kata dalam syair itu telah menjadi sebuah jembatan,
menghapuskan perbedaan ideologis yang demikian dalam. Persis seperti yang dikatakan Herder, "Dari puisi kita mendapatkan pemahaman
tentang sebuah zaman atau suatu bangsa secara mendalam, lebih ketimbang yang kita dapatkan dari sejarah politik dan militer."
Sang pembangun jembatan itu kini
telah tiada. Annemarie Schimmel, meninggal dunia 28 Januari 2003 di Bonn, Jerman, pada usia 80 tahun. Hanya semangat dan kecintaannya
terhadap "kata-kata yang baik" yang dapat kita lestarikan, sebenarnyalah kita perlukan, di era kini ketika kata-kata lebih
sering memisahkan ketimbang menyatukan; lebih sering memutuskan ketimbang menghubungkan. Betapa terasa kini semangat dan kecintaan
Schimmel itu demikian berharga. Dan betapa mengharukan karenanya, kerendahan hati pencinta kata itu, yang tercermin dalam
puisinya:
sang pencinta,
menenun satin
dan brokat
dari air mata, O Kawan, agar dapat menghamparkannya
suatu hari, di bawah telapak kakimu...
dan aku menenun
sutera kata-kata yang selalu baru
hanya untuk menyembunyikanmu.[]