Mencoba untuk berkata ,bercerita dan berexpresi
Kita dan sastra dunia
Home | Buku tamu | Khalifah tauladan | Ilmuwan besar islam | Artikel | Abaout me | Kisah tauladan | Kajian Islam | Photo keajaiban Allah

 

`Kita dan Sastra Dunia '

Penulis: Sapardi Djoko Damono

Pada acara Temu Mitra Redaksi Mizan Pustaka yang bertema Menjelajah Sastra Terjemahan, yang berlangsung di Bandung, 8 Februari 2003 Sapardi Djoko Damono, Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia menyampaikan pandangannya tentang tema itu. Bagaimana pandangan Sapardi tentang hal itu, Mizan Online menyajikan untuk Anda.

Karya sastra adalah hasil kerja sastrawan, tidak begitu saja jatuh dari langit. Sastrawan adalah manusia, anggota masyarakat yang menyadari perlunya berkomunikasi dengan manusia lain; dengan demikian sastra memerlukan pembaca. Di dalamnya, sastrawan berusaha menciptakan dunia rekaan berdasarkan kemampuan daya khayalnya. Dunia rekaan itu tentu saja harus bisa dikenal pembaca, sebab jika tidak, komunikasi tidak akan berlangsung. Pembaca, seperti halnya sastrawan, adalah juga manusia, anggota masyarakat yang tentunya juga menyadari pentingnya berkomunikasi. Di dalam proses komunikasi semacam itu sastrawan adalah pengirim pesan, sedangkan pembaca adalah penerima pesan. Karya sastra adalah pesan itu, yakni dunia rekaan yang isinya harus dikenal baik oleh sastrawan dan masih bisa dikenal pembaca agar komunikasi bisa berlangsung.

Dalam proses tersebut tampaknya pembaca adalah penerima yang pasif sedangkan sastrawan pengirim pesan yang aktif; kenyataannya tidaklah demikian. Karya sastra modern, yang tertulis, pada dasarnya merupakan susunan huruf, kata, kalimat, dan alinea yang bisa menjelma dunia hanya jika pembaca secara aktif menafsirkannya; ia menjadi "sastra" dan menjelma sebuah dunia hanya jika diciptakan kembali oleh pembaca. Jika tidak, ia mungkin merupakan kertas bertulisan yang bisa saja menjadi bungkus kacang. Ada atau tidaknya karya sastra sama sekali bergantung pada pembaca yang menjadi juru tafsir, dan dalam hal ini tentu saja sastrawan bisa juga menjadi pembaca karyanya sendiri. Dalam proses menafsirkan itulah sebenarnya terjadi komunikasi langsung antara karya sastra dan pembaca, atau komunikasi tak langsung antara sastrawan dan pembaca.

Sebagai manusia, sastrawan tidak bisa melepaskan diri dari dunia tempatnya berpijak. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari gagasan, tindak-tanduk, dan benda-bendaâyakni kebudayaanâyang dihasilkan manusia; ia pun ikut menghasilkan itu semua. Jadi, sastrawan adalah bagian kebudayaan dan sekaligus ikut menghasilkan kebudayaan. Tentu saja karya yang diciptakannya, yakni sastra, adalah dunia yang tak bisa dipisahkan dari kebudayaannya. Sastra adalah dunia rekaan yang berpijak pada gagasan, tata nilai, dan kaidah yang telah membentuk dan sekaligus dibentuk sastrawan sebagai anggota masyarakat. Dalam hal ini, "berpijak" tentunya tidak berarti "sama dan sebangun"; sastra adalah tanggapan evaluatif terhadap berbagai hal yang berlangsung di dunia nyata ini. Dalam menilai, sastrawan menyodorkan pilihan-pilihan. Itu sebabnya juga sering dikatakan bahwa dunia rekaan adalah alternatif bagi kehidupan kita sehari-hari.

Orang membaca karya sastra karena ia tidak ingin berada di dunia nyata yang satu-satunya ini, dan berusaha melarikan diri ke dunia yang berbeda, yang diciptakan sastrawan. Ini tidak berarti bahwa ia berpindah ke dunia yang lebih nyaman; bisa saja dunia alternatif itu malah "menyiksa"-nya. Bisa saja orang merasa sangat berbahagia di dunia sehari-harinya, namun masuk juga ia ke dunia sastra yang mungkin malah membuatnya menangis, geram, atau penasaran. Orang mendapatkan juga pengalaman di dunia nyata ini, namun dunia sastra, yang diciptakan oleh sastrawan entah sejak kapan, memberinya lebih banyak lagi pilihan pengalaman. Dengan demikian, hakikat keberadaan sastra adalah niat baik pembaca untuk menerima pengalaman yang ditawarkan sastrawan.

Dalam zaman modern ini, dunia alternatif umumnya dikemas dalam bentuk buku. Dengan demikian sastra adalah dunia yang portable, bisa dijinjing ke mana pun dan siap dimasuki sembarang waktu dan tempat. Tidak usah heran jika kita pernah menyaksikan orang membaca novel di bus, pesawat terbang, kereta api, dapur, toilet, atau kamar belajar. Dunia jinjingan itu berisi kebudayaan, yakni gagasan, nilai-nilai, dan kaidah-kaidah yang diciptakan kembali dan sekaligus dievaluasi oleh sastrawan. Tentu saja, seperti halnya benda budaya lain, ada berbagai-bagai jenis sastra. Ada sastra yang menawarkan dunia yang sudah begitu kita kenal sehari-hari dan mengajak kita untuk tetap mencintainya dan sama sekali tidak beranjak darinya; ada yang menantang kita untuk mempertimbangkan kembali segala sesuatu yang selama ini kita yakini dan menggoda kita untuk merombaknya. Itu semua merupakan cerminan kebudayaan yang telah melahirkannya.

II

Tentu karena kita membutuhkannya maka sastra telah dihasilkan entah sejak kapan. Jika kita mengambil cara pandang ini begitu saja, seolah-olah tidak ada gunanya memperbincangkan arah dan nasib sastra kita di masa datang; apa pun yang terjadi, sastra di mana pun pasti akan dihasilkan. Yang perlu kita bicarakan sekarang adalah mengapa sastra harus ada dan untuk apa pula benda budaya itu ada. Meskipun mungkin saja menjadi terharu atau bahkan menangis ketika membaca karya sastra, kita sepenuhnya menyadari bahwa yang kita hadapi hanyalah gambaran dunia rekaan yang tidak akan mampu menyelesaikan kemelut yang terjadi dalam hidup kita. Ia tidak nyata, sedangkan kesulitan hidup sehari-hari kita ini benar-benar nyata.

Tetapi justru karena sifat rekaannya itulah sastra kita butuhkan. Kita tidak mungkin tinggal terus-menerus di dunia nyata. Agar hidup ini bisa terlaksana dan berlangsung dengan sebaik-baiknya, kita perlu mengadakan perjalanan ulang-alik dari dunia nyata ke dunia rekaan. Setiap harinya kita, yang hidup sebagai anggota masyarakat modern ini, melakukan itu: nonton telenovela atau film seri di televisi; membuat dan mendengarkan folklore, yakni cerita burung mengenai tetangga, kenalan, atau saudara; atau membaca cerita bersambung atau cerita pendek yang dimuat di berbagai media massa. Dunia rekaan ternyata merupakan pasangan dunia nyata. Jika di dunia nyata ini gerak-gerik kita ada rambu-rambunya, ada batas-batas yang sebenarnya kita ciptakan sendiri demi keinginan bermasyarakat, maka di dunia rekaan kita mendapatkan keleluasaan yang memungkinkan kita melewati batas-batas itu.

Di dalam dunia nyata, apa yang terjadi tidak akan bisa diulang lagi. Menurut teori mimesis, di dalam dunia rekaan itu apa yang terjadi di dunia nyata bisa "diulang" lagi; dan dunia "ulangan" itu bisa terus-menerus diulang-ulang setiap kali kita membacanya. Dengan demikian ia merupakan semacam cermin dari segala sesuatu yang menimpa diri kita ini; menghasilkan sastra berarti menyaksikan diri kita sendiri bermain di suatu dunia rekaan. Karena cermin itu meniru apa yang dicerminkannya, maka sastra pada dasarnya dianggap sebagai mimesis. Namun, dalam hal ini mimesis adalah tiruan yang juga memperbaiki kekurangan yang ada pada yang ditiru. Sastra adalah cermin yang istimewa, ia tidak hanya menampilkan diri kita seperti yang ada di dunia nyata, tetapi sekaligus memperbaikinya. Ini berarti sastra juga menampilkan hal yang tidak tampak dalam dunia nyata, hal yang tidak bisa diketahui dalam dunia nyata.

Dengan cara lain bisa dikatakan bahwa sastra merupakan tanggapan evaluatif terhadap kehidupan; sebagai semacam cermin, sastra memantulkan kehidupan setelah menilai dan memperbaikinya. Kita menciptakan sastra sebab membutuhkan citraan rekaan yang bisa mencerminkan hal yang tidak kita ketahui di dunia nyata. Itulah sebabnya, setidaknya menurut Wolfgang Iser,2 sastra tidak tergusur oleh perkembangan filsafat sejarah dan teori sosiologi, yang juga merupakan cermin diri kita, sebab sastra pada dasarnya justru mencerminkan yang tidak ada. Sastra menghadirkan yang tidak hadir, mementaskan yang tidak terpentaskan dalam kenyataan sehari-hari. Pertanyaan yang penting adalah, mengapa gerangan kita menciptakan cara pementasan semacam itu, yang telah bersama kita sepanjang sejarah yang kita catat selama ini?

Jika kita mengikuti jalan pikiran Iser, jawaban terhadap pertanyaan itu tentulah bukan sekedar keinginan untuk mengulang-ulang apa yang ada, tetapi kehendak kuat untuk mendapatkan jalan masuk ke sesuatu yang tidak dapat kita ketahui. Kehendak itulah yang menyebabkan sastra tetap akan kita hasilkan dan tidak bisa digantikan oleh bidang lain apa pun. Dan tentunya buku-buku sastra tetap akan ditulis, dicetak, dan disebarluaskan lewat berbagai-bagai saluran.

III

Di zaman ini, kita menjumpai begitu banyak dunia jinjingan yang ditawarkan oleh sastrawan-sastrawan kita sendiri maupun asing. Kalau mau, kita bisa masuk ke dunia Sitti Nurbaya, yang diterbitkan tahun 20-an ciptaan Mh. Rusli, seorang Minang; atau ke dunia Para Priyayi yang diciptakan oleh Umar Kayam, seorang Jawa. Dr. Zhivago karya Boris Pasternak, orang Rusia; Malam karya Eli Wiesel, orang Yahudi; Yang Tergusur karya Sally Morgan, orang aborigin Australia; Tukang Kebun karya Rabindranath Tagore, orang India; Senandung Ombak karya Yukio Mishima, orang Jepang; Nyanyian Lawino karya Okot pâBitek, orang Uganda; Tokoh-tokoh Munafik karya Sionil Jose, orang Filipina; Istri untuk Putraku karya Ali Ghalem dari Aljazair; Nyanyian Ombak karya Yukio Mishima dari Jepang; Lelaki Tua dan Laut karya Hemingway dari Amerika; semua itu beberapa contoh saja dari begitu banyak duniaâyang mencerminkan kebudayaan, yang berisi pengalamanâyang siap kita masuki. Dan jika kita bisa menguasai bahasa asing, ada lebih banyak lagi pilihan untuk kita tentu saja.

Moga-moga saja kita masih ingat, dan bersedia mengakui, bahwa umumnya perkenalan pertama kita dengan beberapa segi kebudayaan Rusia tidak melalui sosiologi tetapi lewat cerita pendek dan drama Anton Chehov; perkenalan pertama kita dengan berbagai nuansa masalah sosial, politik, dan budaya Rusia tidak lewat ceramah ilmiah tetapi lewat buku-buku Nikolay Gogol, Leo Tolstoy, dan Boris Pasternak. Dan anehnya, kesan perkenalan pertama itu tidak mudah hilang; mungkin hal itu antara lain disebabkanâkata orangâ sastra itu memorable, cenderung lekat ke ingatan. Anehnya lagi, karya sastra adalah dunia pengalaman yang bisa dihayati berulang kali, dan setiap kali merupakan pengalaman yang umumnya lebih bernilai, karena kita tentunya sudah menjadi lebih kritis. Kita sepenuhnya tahu bahwa membaca ulang sebuah novel, misalnya, tidak jarang lebih mengasyikkan dibanding membaca novel baru. Novel yang pernah kita baca sewaktu di sekolah menengah tentu memberikan pengalaman yang berbeda dengan ketika kita baca tiga puluh tahun kemudian, ketika kita hampir punya cucu.

Contoh beberapa novel yang saya sebut itu menunjukkan bahwa setidaknya akhir-akhir ini kegiatan menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia terus dilaksanakan dan tampaknya meningkat. Ini membuktikan bahwa sebagai bangsa, kita mempunyai rasa ingin tahu yang kuat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan dan pengalaman bangsa lain. Kita menyadari bahwa dalam zaman komunikasi yang semakin laju ini, tidak ada manfaatnya sama sekali untuk menutup diri dengan hanya mengagumi dan melestarikan kebudayaan dan pengalaman diri sendiri. Untuk bisa bergaul dengan bangsa lain dengan lebih percaya diri, kita perlu mengenal kebudayaan dan pengalamannya. Dan dalam hal ini, sastra adalah semacam jalan pintas.

Saya akan memberikan sekedar contoh. Aljazair adalah sebuah negeri di Afrika Utara yang boleh dikatakan asing bagi kebanyakan kita. Novel Ali Ghalem, Istri untuk Putraku, memberikan gambaran dan uraian yang sangat tajam mengenai beberapa segi kebudayaan dan pengalaman bangsa itu. Lewat novel itu kita bisa mengenal tata cara perkawinan yang sama sekali asing bagi kita. Dalam novel itu juga diungkapkan berbagai masalah sosial dan budaya yang menyangkut masyarakat lapisan bawah; bahkan secara tersirat muncul juga masalah hubungan antara Aljazair dan Perancis, negeri Eropa yang pernah menguasainya. Beberapa adegan dalam novel itu digambarkan begitu tajam sehingga sulit lepas dari ingatan kita, seperti misalnya adegan yang menggambarkan tradisi pemeriksaan keperawanan bagi gadis yang akan nikah. Juga adegan malam pertama pengantin. Dalam karya Ali Ghalem itu kita juga menemukan berbagai segi masalah pendidikan, hak wanita, dan hubungan-hubungan antaranggota keluarga dan antarkeluarga.

Sehabis membaca novel itu, kita merasa seolah-olah tahu sangat banyak mengenai masyarakat suatu negeri yang sebelumnya sama sekali asing. Kita menimbang-nimbang berbagai hal yang sama dan tidak sama dengan dunia dan masyarakat kita sendiri. Kita menjadi lebih kaya. Bahkan tidak jarang kita merasa menjadi orang yang tahu banyak mengenai sosiologi dan psikologi masyarakat dan orang Aljazair, tanpa pernah ikut kuliah kedua ilmu itu. Memang tidak benar jika dikatakan kita telah menjadi pakar sosiologi dan psikologi masyarakat Aljazair hanya dengan membaca sebuah novel, namun tidak keliru jika dikatakan bahwa kita telah memahami dan menghayati beberapa segi dunia pengalaman orang Aljazair, lengkap dengan tanggapan si sastrawan terhadapnya.

Novel Yang Tergusur, yang ditulis oleh Sally Morgan, sastrawan keturunan Aborijin di Australia, memberikan gambaran dan "uraian" yang sangat tajam mengenai perkembangan hubungan antarras dalam sejarah sosial Australia. Tokoh utama novel ini, seorang perempuan muda keturunan Aborijin, baru menyadari identitas dirinya â yang selama ini disembunyikan oleh orang tua dan seluruh keluarganya â setelah ia dewasa. Orang tuanya ternyata lebih merasa tenteram dan terlindung dengan membohongi dirinya sendiri sebagai keturunan India daripada mengakui sebagai pribumi, orang Aborijin. Dalam upaya mencari akar itulah perempuan muda tersebut mendapatkan pengalaman dan pengetahuan mengenai hubungan antara pribumi dan pendatang kulit putih. Dan kita yang ikut "menyaksikan" petualangannya ke dunia leluhurnya merasa banyak mengetahui berbagai segi sosiologi, antropologi, politik, dan budaya negeri itu.

Dalam buku Religion of Java, Clifford Geertz telah memberikan gambaran yang mungkin dianggap lengkap dan luas mengenai "permukaan" sebuah masyarakat Jawa di sebuah kota kecil di Jawa Timur; sementara itu di dalam Para Priyayi Umar Kayam mengungkapkan beberapa segi saja dari dunia dan pengalaman beberapa orang Jawa, namun Umar Kayam menyusup jauh ke bawah permukaannya. Dan Umar Kayam sekaligus juga menyiratkan penilaian terhadapnya. Geertz adalah seorang sarjana asing sedangkan Umar Kayam adalah seorang sastrawan kita yang berasal dari Jawa. Contoh lain menyangkut pengarang yang sama, yakni A.A. Navis. Dalam bukunya mengenai adat Minangkabau, Alam Terkembang Menjadi Guru, A.A. Navis memberikan gambaran permukaan yang luas mengenai masyarakat itu, sementara dalam cerpen "Robohnya Surau Kami" ia langsung masuk ke bawah permukaan untuk mengungkapkan inti masalah yang ada dalam kehidupan orang Minang.

Saya sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa dari karya sastra kita hanya bisa mendapatkan informasi mengenai berbagai hal. Sastra memang bisa informatif, tetapi ia juga kreatif. Yang ditawarkannya tidak hanya informasi tetapi juga pengalaman estetis, pengalaman masuk ke dalam keindahan yang disalurkan lewat bahasa. Ketrampilan pengarang mempergunakan bahasanya itulah bahkan yang kadang-kadang membuat kita menganggap bahwa dunia rekaan itu lebih nyata dari dunia yang kita hidupi sehari-hari. Bahwa fiksi itu lebih nyata dari fakta. Itulah sebabnya dengan mudah kita bisa terlibat secara emosional dengan peristiwa dan tokoh rekaan yang ada dalam novel. Itulah juga sebabnya maka tidak jarang karya sastra dilarang beredar karena dianggap melakukan intervensi ke dalam kehidupan nyata, itu pula sebabnya maka "ada" kuburan Sitti Nurbaya di Padang.

IV

Seperti yang tersirat dalam uraian terdahulu, sastra tidak hanya berurusan dengan dunia pribadi sastrawan tetapi juga, dan pada dasarnya, berurusan dengan dunia sosial, usaha manusia untuk menyesuaikan diri dalam dunia itu, dan sekaligus usahanya untuk senantiasa mengubahnya sehingga menjadi hunian yang lebih baik. Sastra adalah usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial itu: hubungan-hubungan keluarga, politik, agama, dan sebagainya. Ia juga menggarisbawahi peranannya dalam keluarga dan lembaga-lembaga lain, mengungkapkan konflik dan ketegangan antarkelompok dan antargolongan. Seperti halnya sosiologi, sastra sebenarnya berhubungan dengan tekstur sosial, ekonomi, dan politik. Namun, setidaknya menurut keyakinan Alan Swingewood3, seorang sosiolog, sastra berbuat lebih dari itu dengan mengatasi sekedar deskripsi dan analisis obyektif dan ilmiah, dan masuk menyusup ke bawah permukaan kehidupan sosial untuk mengungkapkan cara-cara manusia menghayati masyarakatnya. Bahkan menurut seorang sosiolog lain, tanpa kesaksian sastra, pengamat masyarakat tidak akan mampu melihat sebaik-baiknya masyarakat secara utuh. Dengan kata-kata Richard Hoggart, "Without the full literary witness, the student of society will be blind to the fullness of a societyâs life.."4

Sehubungan dengan keinginan kita untuk terus-menerus meningkatkan taraf pergaulan kita dengan bangsa-bangsa lain, usaha untuk menerjemahkan karya sastra asing patut mendapat pujian. Dengan membaca cerita pendek Yukio Mishima yang berjudul "Sepukku," misalnya, kita tidak hanya mendapat gambaran obyektif dan ilmiah mengenai "upacara" bunuh diri dalam masyarakat Jepang, tetapi bisa menghayati bagaimana hal itu berlangsung, lengkap dengan detil perasaan dan emosi yang menggerakkannya. Penghayatan itu perlu untuk pemahaman, dan pada gilirannya pemahaman itu mutlak diperlukan bagi usaha pergaulan yang lebih baik.

Namun, tentu saja dalam usaha bergaul itu kita tidak hanya harus menerima; kita juga harus memberi. Masalahnya adalah apa yang bisa kita berikan dan bagaimana memberikannya. Kita tentu saja bisa menawarkan karya sastra kita kepada bangsa lain, sebagai salah satu usaha penting agar bangsa lain memahami dan menghayati dunia kita. Sayang bahwa tidak begitu saja sastra kita, yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan Daerah, kita sodorkan begitu saja. Bahasa-bahasa kita belum lagi menjadi alat komunikasi antarbangsa. Sebagai perbandingan saya akan menyebut sastra modern Afrika. Banyak di antara sastra benua itu ditulis dalam bahasa-bahasa bekas penjajah, bahasa-bahasa Barat yang diterima sebagai bahasa antarbangsa. Kita tidak usah heran bahwa beberapa sastrawan benua itu segera mendapat perhatian dunia, kata lain untuk pemahaman dan penghayatan masyarakat dunia. Dan tentu saja kita juga tidak usah iri jika salah seorang sastrawan Nigeria, Wole Soyinka, menerima hadiah Nobel untuk kesusastraan pada tahun 1986. Hadiah itu tentu saja bukan merupakan satu-satunya ukuran penilaian dan perhatian, namun setidaknya merupakan salah satu ukuran itu.

Selama ini Indonesia sudah menghasilkan sangat banyak dunia jinjingan itu. Usaha untuk mempromosikan negeri kita ini lewat kebudayaan, mau tidak mau harus ditunjang dengan usaha penerjemahan karya sastra kita secara terus-menerus dan profesional. Yang bisa kita tawarkan tentu tidak hanya terbatas pada sastra modern, yang telah menghasilkan beberapa karya yang setaraf dengan yang dihasilkan negeri lain yang disinggung sebelumnya, tetapi juga sastra daerah dan sastra klasik. Kita menyadari sepenuhnya bahwa dunia kita tidak berawal kemarin sore, tetapi sejak ratusan atau ribuan tahun yang lalu, jauh sebelum nenek-moyang kita menciptakan Hang Tuah, Cindur Mato, Raden Panji, dan Sangkuriang. Dari dunia Barat kita mengenal karya-karya Homerus, William Shakespeare, dan T.S. Eliot, yang mencakup jangka waktu ribuan tahun. Dari anak benua Asia Selatan kita mengenal Mahabharata sampai dengan karya V.S. Naipaul., yang mencakup ribuan tahun. Haiku dan karya Yasunari Kawabata juga berjarak ratusan tahun; itu pun kita kenal. Jadi, tentu sangat banyak yang bisa kita tawarkan kepada bangsa lain, agar mereka bisa juga menghayati kita; agar dalam pergaulan antarbangsa itu berlaku kaidah "memberi dan menerima". Agar bangsa lain juga mempunyai kesempatan untuk menghayati kita sebagai bangsa yang telah membentuk kebudayaannya selama ribuan tahun.

V

Mengenai kedua hal itu ada baiknya kita membaca semacam kesimpulan yang ditarik oleh seorang pakar sastra Melayu klasik, Sir Richard Winstedt dalam pengantarnya tentang sastra Melayu klasik, A History of Classical Malay Literature.5 Katanya "Any one who surveys the field of Malay literature will be struck by the amazing abundance of its foreign flora and fauna and the rarity of indigenous growth." Siapa pun yang mengamati taman sastra Melayu klasik akan dikejutkan oleh melimpahruahnya flora dan fauna asing serta langkanya tanaman asli. Yang dimaksudkan Winstedt adalah bahwa sastra Melayu ternyata diperkaya oleh pengaruh asing dan bahkan jarang sekali yang merupakan ciptaan asli, tidak saja dari segi tema tetapi juga bahasanya. Bahasa Melayu diperkaya oleh kosakata dari bahasa-bahasa di Asia Barat, Tengah, dan Selatan; asal-usul beberapa pengarang awal sastra Melayu di zaman lampau pun ada kaitannya dengan negeri-negeri tersebut. Kita pun bahkan sempat mengembangkan aksara Jawi dan Pegon, yang berasal dari aksara Arab. Seperti halnya yang terjadi dalam bahasa Inggris, pengaruh asing itulah ternyata yang telah memperkokoh bahasa Melayu.

Kesimpulan yang bisa ditarik dari gambaran tersebut adalah bahwa bangsa kita ini ternyata senantiasa terbuka terhadap pengaruh asing dan sama sekali tidak menunjukkan sikap kawatir atau tendah diri menghadapinya. Bangsa kita bahkan sengaja mengambil anasir kebudayaan asing tersebut dan mengembangkannya sesuai dengan keperluannya sendiri. Kita sekarang tentunya tidak akan mengatakan bahwa bangsa kita telah kehilangan kebudayaannya, telah digusur dan dikuasai oleh kebudayaan asing. Kebudayaan mana pun di dunia ini mengalami hal yang serupa. Kita mengetahui bahwa kebudayaan-kebudayaan Korea dan Jepang bersumber pada kebudayaan Cina, tetapi sekarang kita dengan mudah bisa membedakan ketiga kebudayaan tersebut. Sastra serta aksara Jepang dan Korea klasik bersumber pada sastra dan aksara Cina, namun ketiganya sekarang masing-masing mengembangkan sastra modern yang mau tidak mau telah bersinggungan dengan sastra Barat. Dan jika kita berbicara mengenai sastra Inggris, misalnya, kita boleh menanyakan naskah drama Shakespeare yang mana gerangan yang benar-benar asli?

Yang saya contohkan itu ada katannya dengan masa lalu, ketika jaringan komunikasi tidak secanggih masa kini. Di zaman sekarang ini tidak akan mungkin suatu kebudayaan berkembang sendiri tanpa bersinggungan dengan kebudayaan lain. Kita memang harus mengakui bahwa kebudayaan yang kuat memang cenderung mempengaruhi yang lebih lemah. Jika pendukung kebudayaan yang lebih lemah itu bersikap pasif, tentu ada kemungkinan ia hanya mendapatkan yang diberikan sekedarnya saja. Jika ia bersikap aktif, ia bisa memilih segala sesuatu yang terkandung dalam kebudayaan lain, yang bisa dimanfaatkannya untuk memperkaya dan memperkuat diri sendiri. Jadi, kita jangan takut dan was-was terhadap kebudayaan asing, tetapi justru harus aktif mencari dan merebut kebudayaan asing yang kita anggap baik dan bisa dimanfaatkan.

Sampai di sini sebenarnya kita berbicara mengenai sastra elit. Kitab-kitab yang pada zaman lampau itu disadur atau ditiru dari khasanah bangsa lain bukanlah bacaan populer dalam pengertian kita sekarang ini. Hasil kebudayaan itu beredar di kalangan sangat terbatas, yakni keraton atau pusat-pusat kebudayaan serta agama yang sama sekali jauh dari pengertian kita tentang khalayak ramai. Namun, hasil pengambilalihan kebudayaan asing itu akhirnya turun ke rakyat banyak juga dalam bentuk yang bisa saja sama sekali berbeda, disesuaikan dengan kekayaan budaya yang ada sebelumnya. Wayang yang mendasarkan kisah-kisahnya pada Mahabharata dan Ramayana, misalnya, telah mengubah hasil budaya elit itu menjadi hasil kesenian yang bisa dinikmati rakyat banyak, yang mencakup rakyat kecil sampai lapisan paling atas dalam masyarakatâmeskipun sama sekali tidak ada hubungannya dengan pengertian massa.

VI

Sebenarnya, setiap kali berbicara mengenai penyusupan atau pengaruh kesusastraan asing, kita berbicara mengenai apa yang disebut kebudayaan massa. Kebudayaan massa adalah istilah kita untuk mass culture, istilah Inggris yang konon berasal dari bahasa Jerman Masse dan Kultur. Kebudayaan massa sebenarnya merupakan istilah yang mengandung nada mengejek atau merendahkan; istilah ini merupakan pasangan dari high culture, kebudayaan elit atau kebudayaan tinggi. Kebudayaan tinggi mengacu tidak hanya ke berbagai jenis kesenian produk simbolik yang menjadi pilihan kaum elit terpelajar dalam masyarakat Barat, tetapi juga ke segala sesuatu yang ada kaitannya dengan pikiran dan perasaan kaum yang menjatuhkan pilihan atas jenis kesenian dan produk simbolik tersebut.

Mass atau Masse mengacu ke mayoritas masyarakat Eropa yang tak terpelajar dan nonaristokratik, terutama sekali masyarakat yang sekarang ini biasa kita sebut sebagai kelas menengah bawah, kelas pekerja, dan kaum miskin. Jadi, jika kebudayaan elit dikaitkan dengan mereka yang "berbudaya," maka kebudayaan massa dianggap milik mayoritas masyarakat yang uncultured atau unlettered "tak berbudaya"âini jelas mengandung ejekan dan sikap merendahkan. Massa mengandung pengertian kelompok manusia yang tidak bisa dipilah-pilahkan, semacam kerumunan, yang di dalamnya tidak ada lagi individu. Kebudayaan massa diciptakan semata-mata untuk konsumsi masyarakat serupa itu.

Dalam khasanah kritik kebudayaan Barat, berbagai istilah yang nadanya merendahkan telah dipergunakan untuk menggambarkan hasil kebudayaan massa dan pendukungnya. Dalam tulisan Dwight Macdonald,6 misalnya, disebutkan bahwa pendukung kebudayaan massa disebut adultized children âanak-anak yang didewasakanâ dan infantile adults âorang dewasa yang kekanak-kenakan.â Alasannya adalah karena anak-anak zaman sekarang ini menonton segala jenis acara televisi yang sebenarnya sama sekali tidak disediakan untuk mereka, sementara orang-orang dewasa gemar membaca komik dan nonton film, terutama kartun, yang sebenarnya dimaksudkan untuk anak-anak. Dalam keadaan semacam itu masyarakat mengalami perkembangan yang aneh: anak-anak menjadi sangat cepat dewasa, tetapi pada batas tertentu orang dewasa tidak lagi bisa berkembang cita rasanya. Konsep ini ada kaitannya dengan pengertian immature taste âcita rasa yang belum dewasaâ yang disebut oleh A. Kaplan untuk menggambarkan cita rasa para pendukung kesenian populer.7 Jika boleh disimpulkan dengan meminjam istilah yang dipergunakan oleh Matthew Arnold dalam Culture and Anarchy, kebudayaan elit itulah culture sedangkan kebudayaan massa itu tak lain merupakan anarchy.8

Pada hakikatnya, yang kita risaukan adalah kebudayaan massa ini yang, sebagai akibat dari semakin berkembangnya komunikasi, memang dalam kenyataanya tidak mungkin kita hindari. Dalam pembicaraan sehari-hari dan dalam berbagai seminar, umumnya kita menunjuk televisi sebagai penyebar utama kebudayaan massa itu; sesudahnya baru media massa cetak dan perangkat audio-visual lain. Gans, seorang pembela kebudayaan massa, menyebut empat hal utama yang menyebabkan kerisauan kita itu. Saya akan mencoba menafsirkannya dengan sesekali mengacu ke berbagai gagasan lain yang ada kaitannya.

Pertama, kita risau terhadap kebudayaan massa sebab ia diproduksi secara besar-besaran berdasarkan perhitungan dagang belaka. Pencipta kebudayaan populer hanya mencari keuntungan dari khalayak tanpa mempertimbangkan dampak baik-buruknya terhadap konsumen. Hasil kebudayaan massa diciptakan sebagai komoditi yang berorientasi kepada produsen dalam hal laba dan bersandar pada konsumen dalam soal cita rasa.

Kedua, kebudayaan massa itu merusak kebudayaan elit dengan cara meminjam atau mencuri atau memperalatnya. Bahkan boleh dikatakan menyedot potensi yang ada pada kebudayaan elit. Sudah disebut sebelumnya bahwa konsumen hasil kebudayaan massa adalah rakyat kecil yang tidak berbudaya. Bagaimanapun mereka ini ingin tampak berbudaya; oleh karenanya diperlukan berbagai unsur kebudayaan elit untuk memberi sentuhan tertentu agar yang sifatnya massa itu menjadi istimewa. Sebagai contoh di bidang musik kita bisa mendengar potongan lagu Beethoven disulap menjadi lagu populer yang dengan mudah bisa disebarluaskan. Di samping itu tak terhitung banyaknya potensi artistik seniman di berbagai bidang yang dipergunakan untuk penciptaan kebudayaan massa. Berapa banyak seniman potensial yang demi sesuap nasi telah âdipaksaâ bekerja siang malam untuk menciptakan berbagai iklan dan acara televisi murahan di ribuan rumah produksi yang tumbuh di dunia ini.

Ketiga, kebudayaan massa menanamkan pengaruh yang sangat buruk terhadap khalayak; ingat pengaruh sex, crime, and violence yang merupakan ciri kuat dalam kebudayaan massa. Karena orientasinya adalah cita rasa yang rendah, tema-tema yang dipilih oleh kebudayaan massa adalah tentu saja yang mudah dicerna tanpa banyak memerlukan renungan dan acuan. Seks, kejahatan, dan kekerasanâseperti yang sangat banyak kita dapatkan di televisiâmerupakan tema-tema pilihan utama sebab dianggap bisa langsung menarik perhatian konsumen.

Keempat, penyebarluasan kebudayaan massa dianggap tidak hanya memerosotkan atau mengurangi nilai kebudayaan (elit) itu sendiri, tetapi juga menciptakan khalayak yang pasif yang sangat cepat memberikan reaksi terhadap berbagai teknik godaan dan bujukan, sehingga membuat peluang bagi munculnya totaliterisme. Dalam kait­annya dengan ini muncul pula konsep mengenai the lonely crowd âkerumunan orang yang kesepianâ serta massa yang dengan mudah dibakar emosinya, baik untuk menuruti bujukan iklan atau hasutan penggerak massa atau agitator politik. Karena massa sudah ter­biasa menerima âbimbinganâ satu arah dari berbagai media, dengan mudah pula mereka itu digerakkan untuk melakukan sesuatu secara bersama-sama seperti berdemonstrasi, mogok, dan mengadakan peru­sakan meskipun sebenarnya masing-masing tidak saling mengenal.

Gans membela kebudayaan massa dengan menyatakan bahwa segala yang dituduhkan itu bisa saja dituduhkan kepada kebudayaan elit. Hasil kebudayaan elit pun sekarang ini bisa saja diproduksi secara besar-besaran dengan maksud utama mencari keuntungan. Musik klasik, misalnya, bisa dipergelarkan di depan ribuan pengunjung atau disiarkan televisi; bahkan bisa juga disebarluaskan lewat rekaman. Dalam sejarah kreatifitas di Barat, dan tentunya di mana saja, seniman klasik pun suka mencuri atau meminjam berbagai unsur kebudayaan rakyat untuk diolah dan dikembangkan sesuai dengan cita rasa si seniman dan kelompok masyarakatnya. Di samping itu, bukankah masalah seks, kejahatan, dan kekerasan merupakan tema yang biasa beredar juga dalam kebu­dayaan elit? Karya sastra, drama, dan seni rupa elit membuktikan hal tersebut. Dalam hal bimbingan kepada khalayak, tentunya kebudayaan elit pun melakukannya; itulah justru segi didaktik yang mendasari kebudayaan elit, meskipun mungkin tidak disampaikan segampang kebudayaan massa.

Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan pascamodernis juga menolak pemilahan gaya Matthew Arnold yang menyebut kebudayaan elit sebagai culture dan kebudayaan massa sebagai anarchy. Pandangan itu menolak konsep wibawa lapisan elit untuk menyatakan satu-satunya kebenaran, dan malah sebaliknya menyampaikan kenyataan bahwa yang ada ialah kebhinekaan suara dalam kebudayaan. Dalam hal ini kesatuan suara dianggap tidak ada lagi. Di samping itu, masyarakat kita sekarang ini tidak lagi dibagi-bagi dalam lapisan-lapisan sosial dan cita rasa yang berjenjang tetapi terdiri atas kelompok-kelompok yang memiliki cita rasa yang berbeda-beda. Oleh Gans keadaan ini disebut sebagai taste culture âkebudayaan cita rasa.â

Jika kita tidak memperhatian alasan-alasan tersebut, masalah yang kita hadapi adalah bahwa kebudayaan massa tidak (lagi) hanya ditujukan bagi orang miskin dan kelas bawah, tetapi untuk "kita semua"âartinya, ia dikawatirkan akan menggilas semuanya dan menjadi satu-satunya "kebudayaan" yang menguasai semua bangsa di dunia ini. Kita sebaiknya menyadari bahwa selama ini berbagai jenis kebudayaan, termasuk yang massa dan elit, yang asing dan daerah, tetap ada di sekitar kita. Tentu saja kita boleh memilihnya kalau mau. Juga perlu disadari bahwa manusia bisa bergerak dari kebudayaan elit ke kebudayaan massa, bisa memilih bedhaya ketawang atau tayuban, bisa memilih Beethoven atau Koes Plus, boleh memilih golf atau sepakbola.

 

VII

Tetapi kita tetap saja sering mengungkapkan bahwa sastra kita berada dalam bahaya; pandangan yang berlebihan bahkan menyatakan bahwa sastra kita akan disudutkan oleh berbagai hambatan untuk akhirnya hidup merana. Tuduhan terhadap lemahnya minat baca masyarakat sering kita gugurkan sendiri dengan kekawatiran kita akan dominasi sastra terjemahan yang mengalami kemajuan yang pesat akhir-akhir ini. Sebenarnya kekawatiran itu tidak perlu ada sebab sejarah telah mencatat juga dominasi sastra terjemahan dalam kehidupan nenek-moyang kita; dengan sangat cekatan kita bahkan telah menyadur sastra asing dan menjadikannya bagian penting yang ikut mengembangkan kebudayaan kita.

Sastra asing yang telah diterjemahkan tidak lagi menjadi milik bahasa dan kebudayaan sumbernya, tetapi merupakan bagian tak terpisahkan dari bahasa dan kebudayaan sasarannya. Dengan demikian maka Arjuna, Abunawas, dan Pinokio adalah para tetangga kita yang sudah kita lupakan asal-usulnya. Mungkin pada awalnya dulu kita tertarik kepada tokoh-tokoh itu justru karena mereka menghadirkan hal penting yang tidak hadir dalam kehidupan kita. Keasingan itulah yang menjadikan mereka itu "hidup" dalam kehidupan sehari-hari kita. Ditinjau dari sudut pandang ini, kegiatan penerjemahan sastra sekarang ini sebaiknya tidak ditanggapi sebagai ancaman kehidupan sastra kita, tetapi justru harus kita syukuri sebagai hal yang memberikan sumbangan bagi pemenuhan kehendak kuat kita untuk mendapatkan akses ke berbagai hal yang tidak bisa kita dapatkan.

Sastra, dalam zaman kita ini, telah menjadi barang dagangan. Penerbit adalah perusahaan yang dalam kegiatannya harus selalu memperhitungkan untung-rugi. Tampaknya, dalam perhitungan itu menerbitkan karya terjemahan lebih menguntungkan daripada menerbitkan karya asli. Karya sastra asing yang siap diterjemahkan tidak terhitung jumlahnya, dan kita semua tahu bahwa proses menerjemahkan tentu lebih sederhana daripada proses menciptakan karya asli. Di samping itu jaminan lakunya karya sastra tampaknya lebih pasti sebab tidak jarang ditunjang oleh iklan mengenai keberhasilannya di luar negeri dan pemunculannya dalam bentuk kesenian lain, terutama film.

Kita juga sering mengeluh mengapa kita tidak mampu menghasilkan karya sastra yang, tidak usah adikarya, tetapi cermat, kokoh, dan padu seperti yang sering kita jumpai dalam sastra terjemahan. Dalam hal ini kita harus memperhatikan dua sistem yang berkaitan dengan kelahiran karya sastra, yakni kepengarangan dan penerbitan. Sastrawan kita umumnya bekerja sendirian; ia harus bekerja secepat-cepatnya tanpa bantuan orang lain untuk memeriksa karangannya. Umumnya sastrawan kita memiliki kerja rangkap, artinya ia tidak bisa mempergunakan seluruh waktunya hanya untuk mengarang. Kesan kuat yang kita dapatkan dari kebanyakan karya sastra kita adalah penulisannya yang sangat tergesa-gesa.

Perkembangan sastra kita banyak ditaja oleh penyelenggaraan berbagai sayembara penulisan. Saya curiga kebanyakan naskah yang masuk dalam sayembara itu ditulis dengan sangat tergesa-gesa; sebuah novelette mungkin ditulis satu atau dua minggu sebelum dikirimkan; hampir tidak ada tanda-tanda bahwa kebanyakan naskah itu penah diperiksa ulang oleh penulisnya. Di lain pihak, penerbit juga tidak memiliki banyak waktuâdi samping juga tidak memiliki kemampuan cukupâuntuk menyuntingnya. Penerbit koran, majalah, atau buku di negeri ini tampaknya benar-benar menyadari pentingnya gerak cepat dalam mengumpulkan laba sebanyak-banyaknya. Di dalam sistemnya, hampir tidak disediakan ruang untuk kemampuan yang benar-benar handal dalam penyuntingan. Sastra bukan kitab suci yang tidak bisa disunting agar menjadi lebih baik; sastrawan bukan nabi yang menyampaikan Sabda. Sastrawan hanyalah manusia biasa yang berusaha menciptakan benda budaya yang, tentu saja, bisa mengandung cacat yang bisa diperbaiki pihak lain.

Dalam hal ini proses penulisan novel John Grisham bisa dijadikan sekedar contoh. Ia adalah novelis yang memberi kesan bahwa novel-novelnya ditulis berdasarkan "penelitian" yang cermat atas masalah yang ditulisnya, mungkin justru karena itu ia tidak menulis tergesa-gesa dan sekali jadi. Mungkin saja novel-novelnya sebenarnya tidak merupakan hasil kerja sendirian; ada editor yang membantu melahirkan novelnya. Konon, novelnya The Rainmaker yang hak ciptanya untuk film bisa mencapai 16 milyar rupiah, mula-mula terdiri atas sekitar 750 halaman yang kemudian dirampingkan menjadi 434 halaman saja.9 Perampingan itu bisa saja dilakukan olehnya sendiri, bisa juga oleh pasukan penyunting yang benar-benar mampu melakukan tugasnya.

Harus kita akui bahwa sepandai-pandainya pengarang, bisa saja ia melakukan kekeliruan atau kecerobohan dalam cara penyampaian maupun apa yang disampaikan. Ia mempunyai kewajiban untuk memeriksa ulang dan memperbaikinya, dan penerbit yang baik juga berkewajiban untuk membantunya. Naskah yang masuk ke penerbit dan penyelenggara sayembara penulisan menunjukkan bahwa kecerobohan pengarang sangat tiggi kadarnya. Menurut pengalaman saya, praktis tidak pernah ada naskah peserta sayembara penulisan yang seratus persen siap untuk diterbitkan. Karena tidak adanya usaha untuk menyelenggarakan penyuntingan yang sungguh-sungguh, sebenarnya sebagian besar sastra kita adalah sastra yang ceroboh. Kita pernah membaca kritik F. Rahardi, penyair dan redaktur majalah pertanian Trubus, terhadap kecerobohan A. Tohari mengenai berbagai masalah pertanian dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.10 Novel Umar Kayam yang banyak mengandung kosa kata Jawa, Para Priyayi, agak menderita sebab tampaknya si penyunting tidak begitu menguasai penulisan ejaan bahasa Jawa. Dan amat sangat banyak karya sastra kita yang mencerminkan lemahnya penguasaan bahasa; cerita rekaan menjadi bertele-tele dan menjengkelkan, puisi menjadi gelap.

Sastra tidak bisa dilahirkan dengan tergesa-gesa, pengarang tidak bisa sepenuhnya bekerja sendirianâia langsung atau tak langsung memerlukan bantuan bidang dan keahlian lain. Sistem kesusastraan kita tampaknya belum sepenuhnya siap menunjang kelahiran sastra di zaman yang serba cepat ini. Bisnis penerbitan mensyaratkan dipercepatnya proses penerbitan dan dilipatgandakannya judul buku baru. Tujuan penerbitan yang mementingkan faktor laba ini segera tampak bertentangan dengan hakikat sastra yang memang tidak bisa dipaksa tergesa-gesa dan ceroboh. Yang sekarang diperlukan adalah suatu sistem penerbitan sastra yang bisa mempertemukan keduanya. Jadi, kita harus menciptakan sistem kepengarangan dan penerbitan yang bisa bekerja sama dengan baik, tanpa harus merugikan perkembangan kesusastraan.***

 

Enter content here

Enter supporting content here

Maaf bila terjadi kesalahan atau kekurangan atas semua data-data di artikel ini,
kritik + saran:
klik here
:loper_kor4n@yahoo.com  or   radenmifti@yahoo.com
 
            Be a good Moslem or die as Syuhada.....`!!!!
             Other web:   http://mifty-away.tripod.com