Mencoba untuk berkata ,bercerita dan berexpresi
Agar sains terasa religius
Home | Buku tamu | Khalifah tauladan | Ilmuwan besar islam | Artikel | Abaout me | Kisah tauladan | Kajian Islam | Photo keajaiban Allah

 

Agar Sains Terasa Religius

Penulis: Muhammad Iqbal

Islamisasi Sains bukan dalam pelabelan ayat-ayat Al-Quran dan hadis.  Adaptasi dan asimilasi ke dalam nilai-nilai budaya reigius Islam.

Sistem epistemologi saja tak cukup.  Teori pengetahuan yang membicarakan tentang sumber dan cara mendapatkan pengetahuan yang dibangun para filosof  dan ilmuwan Barat itu betapapun berpengaruh dalam pengembangan peradaban manusia, dianggap mengabaikan nurani dan intusisi manusia.

Dalam sejarahnya, sistem epistemologi Barat ini bergulir pada pasca Abad Pertengahan dan zaman Renaisans, terutama sejak masa Rene Decrates, yang dipandang sebagai "Bapak Filsafat Barat Modern".  Paradigma epistemologi Barat bercorak rasionalistik-positivistik indrawi menempatkan manusia cuma sebagai mahluk fisik-kimia yang tidak peduli nilai-nilai spiritual.  Pandangan ini menyingkirikan Tuhan sebagai Pencipta.  Seluruh proses alam dipandang hanya kebetulan, tak ada campur tangan Tuhan.

Dalam bangunan filsafatnya, Decrates menekankan akal itu sebagai sumber ilmu pengetahuan dan menjadikannya sebagai tujuan akhir.  Segala hal yang bersifat abstrak dan tidak dapat dipikirkan secara logika bukanlah ilmu pengetahuan.

Mulyadhi Kartanegara, penulis buku ini tidak sepakat.  Doktor filsafat ilmu Islam lulusan Universitas Chicago, Amerika Serikat itu mencemaskannya. Epistemologi Barat menurutnya dapat mengancam kehidupan kemanusiaan. Filosof muda dari Universitas Islam Negeri Jakarta yang kini menhadi Direktur Pelaksana Program Studi Perbandingan Agama di Universitas Gadjah Mada ini dengan dingin membongkar kelemahan-kelemahan paradigma epistemologi Barat itu.  Penguasaannya atas kekayaan warisan pemikiran filsafat islam klasik dikadikannya pisau analisis saat melakukan koreksi atas paradigma mapan itu.

Menurut Muyadhi, betatapapun penting posisi akal sebagai sumber ilmu, dia membutuhkan alat bantu yang disebut hati atau intusisi yang dalam bentuk teritingginya disebut wahyu.   Intuisi memiliki keunggulan memahami banyak hal yang tak dapat dilakukan akal.  Akal tidak mamapu memahami pengalaman-pengalaman eksistensial; akal tidak bisa mengerti mengapa ada tempat atau waktu tertentu yang dianggap sakral oleh orang-orang tertentu.  Akal juga tidak bisa menangkap sinyal dari langit.   Semua ini hanya dapat dilakukan oleh hati (qalb).  Otoritas hati sebagai sumber pengetahuan ini mendapatkan pijakan kukuh dalam Islam.  Untuk membuktikannya, penulis lalu mengambil contoh pengalaman mimpi dan pengalaman mistik.  Tulis Mulyadi, pengalaman mimpi adalah riil dan objektif, meski tidak bersifat fisik.  Ia mencontohkan siapa saja dapat mengalami mimpi bertemu degan orang yang sudah meninggal.

Pengalaman mimpi ini amat membantu kita dalam memamahi pengalaman mistik yang sering  diklaim para sufi ataupun filosof.  Mereka yang telah menembus batas-batas dunia fisik bisa mengalami hal yang tak dapat dipahami oleh akal sebagaimana dalam epistemologi Barat.  Pengalaman mistik adalah riil dan sejati bukan ilusi.  Pandangan ini amat membantu dalam memahami pengalaman kenabian.

Akibat lebih luas dari paradigma epistemologi Barat yag rasionalistik-positivistik ini, terjadilah sekularisme ilmu pengetahuan yang memandang ilmu netral.  Penulis menolak pandangan demikian dan menyatakan ilmu tidak bisa berkembang secara mandiri tanpa dipengaruhi nilai-nilai budaya da agama, bahkan oleh situasi politik dan ekonomi.

Sedikit banyak, orientasi, penekanan, corak, bahkan perkembangan ilmu dipengaruhi keyakinan pribadi ilmuwan-ilmuwannya.  Karena perkembangan ilmu kini didominasi orang-orang Barat yang memiliki corak sekular, maka pengembangannya pun terkait erat dengan latar belakang budaya mereka yang sekular tersebut.

Ini tantangan epistemologi Islam.  Karena itu perkembangan epistemologi Barat tersebut perlu diarahkan dengan melakukan Islamisasi sains.  Namun Islamisasi  bukan hanya dalam bentuk pelabelan sains dengan ayat-ayat Al-Quran atau hadis, melainkan adaptasi dan asimilasi kembali masuk ke dalam nilai-nilai budaya religius Islam.

Dibandingkan dengan buku-buku sejenis, karya Mulyadhi in punya kekuatan sendiri.  Selain bahasanya mudah dimengerti, beberapa ilustrasinya bisa memperkuat argumentasi.  Karya ini telah membuktikan bahwa masala yang berat bisa dibahas dan dikupas dengan cara yang akrab dan renyah

Enter content here

Enter supporting content here

Maaf bila terjadi kesalahan atau kekurangan atas semua data-data di artikel ini,
kritik + saran:
klik here
:loper_kor4n@yahoo.com  or   radenmifti@yahoo.com
 
            Be a good Moslem or die as Syuhada.....`!!!!
             Other web:   http://mifty-away.tripod.com