UKHUWAH ISLAMIAH
(disampaikan dalam
Kajian Islam Interaktif Golden Week KMII-SRIT, 2002)
Pengertian dan Hakikat
Manusia adalah makhluk individu
sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu ia memiliki karakter yang unik, yang berbeda satu dengan yang lain (bahkan
kalaupun merupakan hasil cloning), dengan fikiran dan kehendaknya yang bebas. Dan sebagai makhluk sosial ia membutuhkan manusia
lain, membutuhkan sebuah kelompok - dalam bentuknya yang minimal - yang mengakui keberadaannya, dan dalam bentuknya yang maksimal
- kelompok di mana dia dapat bergantung kepadanya.
Kebutuhan untuk berkelompok ini
merupakan naluri yang alamiah, sehingga kemudian muncullah ikatan-ikatan - bahkan pada manusia purba sekalipun. Kita mengenal
adanya ikatan keluarga, ikatan kesukuan, dan pada manusia modern adanya ikatan profesi, ikatan negara, ikatan bangsa, hingga
ikatan peradaban dan ikatan agama. Juga sering kita dengar adanya ikatan berdasarkan kesamaan species, yaitu sebagai homo
erectus (manusia), atau bahkan ikatan sebagai sesama makhluk Allah.
Islam sebagai sebuah peradaban -
terlebih sebagai sebuah din - juga menawarkan bahkan memerintahkan/menganjurkan adanya sebuah ikatan, yang kemudian kita kenal
sebagai ukhuwah Islamiah. Dalam Wawasan Al Qur'an, Dr. Quraish Shihab menulis bahwa ukhuwah (ukhuwwah) yang biasa diartikan
sebagai "persaudaraan", terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti "memperhatikan". Makna asal ini memberi kesan bahwa
persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara.
Sedang makna ukhuwah Islamiah terkadang
diartikan sebagai "persaudaraan antar sesama muslim", di mana kata "Islamiah" menunjuk kepada pelaku; dan terkadang juga diartikan
sebagai "persaudaraan yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam", di mana di sini kata "Islamiah" difahami sebagai
kata sifat.
Dalam kajian ini, kedua makna tersebut
saya gunakan sehingga ukhuwah islamiah diartikan sebagai "persaudaraan antar sesama muslim yang diajarkan oleh Islam dan bersifat
Islami". Dengan definisi yang 'lengkap' ini, pertanyaan what, who dan how tentang ukhuwah Islamiah ini secara general telah
terjawab.
Dalam kaitannya dengan hali ini,
Allah berfirman:
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang
mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat."
(Al Hujurat:10)
Juga di dalam sebuah hadits dari
Ibnu Umar ra yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw bersabda:
Artinya: "Orang muslim itu saudara
bagi orang muslim lainnya. Dia tidak menzaliminya dan tidak pula membiarkannya dizalimi."
Dari dalil naqli di atas, kita dapat
menyimpulkan bahwa sesama muslim dan juga sesama mu'min adalah bersaudara, di mana tentunya kesadaran terhadap hal ini akan
memberikan konsekuensi berikutnya.
Kedudukan dan Peran
Penyebutan secara eksplisit adanya
persaudaraan antar sesama muslim (dan mu'min) di dalam Al Qur'an dan Hadits menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu
yang perlu diperhatikan oleh kaum muslimin. Dalam prakteknya, Rasulullah saw juga menganggap penting akan hal ini. Terbukti
pada saat hijrah ke Madinah, Rasulullah saw segera mempersaudarakan shahabat Anshor dengan shahabat Muhajirin, seperti Ja'far
bin Abi Thalib yang dipersaudarakan dengan Mu'adz bin Jabal, Abu Bakar ash Shiddiq dengan Kharijah bin Zuhari, Umar bin Khaththab
dengan 'Utbah bin Malik, dst.
Dari sini kita dapat mengambil pelajaran
bahwa sebuah komunitas (bisa berbentuk negara) hanya akan eksis dengan adanya kesatuan dan dukungan elemen-elemennya. Sedang
kesatuan dan dukungan ini tidak akan lahir tanpa adanya rasa saling bersaudara dan mencintai. Namun persaudaraan inipun perlu
didahului oleh suatu faktor pemersatu, berupa ideologi atau aqidah. Dari sini mungkin kita mulai dapat menarik kesimpulan
penyebab aksi-aksi separatisme di tanah air, ataupun lemahnya kekuatan kaum muslimin dewasa ini. Dua komunitas dengan rasa
kesatuan yang nyaris hilang.
Ukhuwah juga merupakan salah satu
pilar kekuatan (quwwatul ukhuwwah) di samping pilar kekuatan lainnya, seperti kekuatan iman, senjata, dll. Banyak contoh yang
menunjukkan kehancuran sebuah komunitas yang disebabkan oleh ketiadaan ukhuwah.
Tahapan Implementasi
Dalam rangka mewujudkan ukhuwah
Islamiah - bahkan juga dalam rangka menjalin hubungan dalam maknanya yang umum - ada beberapa tahapan konseptual yang perlu
diperhatikan. Secara garis besar tahapan tersebut dapat dibagi menjadi:
- Ta'aruf
Ta'aruf dapat diartikan sebagai
saling mengenal. Dalam rangka mewujudkan ukhuwah Islamiyah, kita perlu mengenal orang lain, baik fisiknya, pemikiran, emosi
dan kejiwaannya. Dengan mengenali karakter-karakter tersebut,
Dalam Surat Al Hujurat, Allah berfirman:
Artinya: "Hai manusia, sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa
di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Al Hujurat:13)
Ta'aruf ini perlu kita lakukan dari
lingkungan yang terdekat dengan kita. Dengan keluarga, dengan lingkungan sekolah atau tempat bekerja, hingga berta'aruf dalam
komunitas yang lebih luas, seperti dalam komunitas KMII.
- Tafahum
Pada tahap tafahum (saling memahami),
kita tidak sekedar mengenal saudara kita, tapi terlebih kita berusaha untuk memahaminya. Sebagai contoh jika kita telah mengetahui
tabiat seorang rekan yang biasa berbicara dengan nada keras, tentu kita akan memahaminya dan tidak menjadikan kita lekas tersinggung.
Juga apabila kita mengetahui tabiat rekan lain yang sensitif, tentu kita akan memahaminya dengan kehati-hatian kita dalam
bergaul dengannya.
Perlu diperhatikan bahwa tafahum
ini merupakan aktivitas dua arah. Jadi jangan sampai kita terus memposisikan diri ingin difahami orang tanpa berusaha untuk
juga memahami orang lain.
- Ta'awun
Ta'awun atau tolong-menolong merupakan
aktivitas yang sebenarnya secara naluriah sering (ingin) kita lakukan. Manusia normal umumnya telah dianugerahi oleh perasaan
'iba' dan keinginan untuk menolong sesamanya yang menderita kesulitan - sesuai dengan kemampuannya. Hanya saja derajat keinginan
ini berbeda-beda untuk tiap individu.
Dalam surat Al Maidah, Allah berfirman:
Artinya: "Dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (Al Maaidah:2)
Dalam dalam hadits:
Artinya: "Dan Allah akan selalu
siap menolong seorang hamba selama hamba itu selalu siap menolong saudaranya."
Juga dalam hadits Ibnu Umar di atas
("al muslimu akhul muslimi ..."), seterusnya disebutkan bahwa siapa yang memperhatikan kepentingan saudaranya itu maka Allah
memperhatikan kepentingannya, dan siapa yang melapangkan satu kesulitan terhadap sesama muslim maka Allah akan melapangkan
satu dari beberapa kesulitannya nanti pada hari qiyamat, dan barangsiapa yang meneymbukan rahasia seorang muslim maka Allah
menyembunyikanrahasianya nanti pada hari qiyamat.
Dalil naqli di atas memberi encouragement
bahkan perintah kepada orang beriman untuk tolong-menolong, yang dibatasi hanya dalam masalah kebajikan dan taqwa. Bentuk
tolong-menolong ini bisa dilakukan dengan saling mendo'akan, saling menasihati, juga saling membantu dalam bentuk amal perbuatan.
Kalaupun tidak turut berperang, kita dapat ikut menyediakan bekal menghadapi peperangan, misalnya.
Dalam masalah-masalah yang jelas
kesalahannya, kita dilarang untuk saling memberikan pertolongan. Contoh ringan yang mungkin pernah kita alami saat masih sekolah,
misalnya memberi contekan saat ulangan. Mungkin saat itu kita merasa sungkan untuk menolak memberi 'pertolongan'. Dan contoh
yang lebih berat mungkin akan sering kita jumpai seiring dengan semakin dewasanya kita dan semakin kompleksnya permasalahan
yang kita hadapi.
Dalam hal ini kita perlu memperhatikan
hadits shahih dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
Artinya: "Tolonglah saudaramu yang
berbuat zalim atau yang dizalimi." Aku bertanya, "Ya Rasulullah, menolong orang yang dizalimi dapatlah aku mengerti. Namun,
bagaimana dengan menolong orang yang berbuat zalim?" Rasulullah menjawab, "Kamu cegah dia agar tidak berbuat aniaya, maka
itulah pertolonganmu untuknya."
Jadi kita seharusnya berterima kasih
jika ada yang menegur kita, bahkan mencegah kita dengan kekuatan manakala kita sedang berbuat kesalahan.
- Takaful
Takaful ini akan melahirkan perasaan
senasib dan sepenanggungan. Di mana rasa susah dan sedih saudara kita dapat kita rasakan, sehingga dengan serta merta kita
memberikan pertolongan. Dalam sebuah hadits Rasulullah memberikan perumpamaan yang menarik tentang hal ini, yaitu dengan mengibaratkan
orang beriman - yang bersaudara - sebagai satu tubuh.
Dalam hadits:
Artinya: "Perumpamaan orang-orang
beriman di dalam kecintaan, kasih sayang, dan hubungan kekerabatan mereka adalah bagaikan tubuh. Bila salah satu anggotanya
mengaduh sakit maka sekujur tubuhnya akan merasakan demam dan tidak bisa tidur."
Unsur pokok di dalam ukhuwah adalah
mahabbah (kecintaan), yang terbagi dalam beberapa tingkatan:
- Tingkatan terendah adalah salamus
shadr (bersihnya jiwa) dari perasaan hasud, membenci, dengki dan sebab-sebab permusuhan/pertengkaran. Dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhari Muslim, Rasulullah saw bersabda bahwa tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya selama tiga hari,
yang apabila saling bertemu maka ia berpaling, dan yang terbaik di antara keduanya adalah yang memulai dengan ucapan salam.
Juga dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah saw bersabda bahwa ada tiga orang yang shalatnya tidak
diangkat di atas kepala sejengkal pun, yaitu seorang yang mengimami suatu kaum sedangkan kaum itu membencinya, wanita yang
diam semalam suntuk sedang suaminya marah kepadanya, dan dua saudara yang memutus hubungan di antara keduanya.
- Tingkatan berikutnya adalah cinta.
Di mana seorang muslim diharapkan mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, seperti dalam hadits: "Tidak sempurna
iman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri." (HR muttafaq alaihi)
- Tingkatan yang tertinggi adalah
itsar, yaitu mendahulukan kepentingan saudaranya atas dirinya dalam segala sesuatu yang ia cintai, sesuatu yang untuk zaman
sekarang sering baru mencapai tahap wacana. Patut kita renungkan kisah sahabat nabi dalam sebuah peperangan, di mana dalam
keadaan sekarat dan kehausan dia masih mendahulukan saudaranya yang lain untuk menerima air.
Juga contoh yang dilakukan oleh
shahabat Anshar, Sa'ad bin rabbi' yang menawarkan hartanya, rumahnya, istrinya yang terbaik untuk dimiliki oleh Abdurrahman
bin Auf. Dalam hal ini Abdurrahman bin Auf pun berlaku iffah dengan hanya meminta untuk ditunjukkan jalan ke pasar. Kisah-kisah
di atas kalaupun belum mampu kita lakukan, minimal kita jadikan sebagai sebuah motivasi awal untuk sedikit lebih memperhatikan
saudara kita yang lain.
Implementasi
Ada banyak contoh kongkrit dari
manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya ukhuwah berbasis apapun. Sebagai contoh adalah kasus semut Argentina di Eropa.
Para pemerhati serangga mengamati bahwa penyebaran semut Argentina di Eropa semakin meluas dan dikhawatirkan akan semakin
dominan mengalahkan semut asli Eropa. Setelah diteliti, ternyata penyebaran yang cepat ini disebabkan semut Argentina - yang
berada di Eropa - menganggap semut Argentina lainnya yang berasal dari sarang yang berbeda sebagai teman. Berbeda dengan semut
Eropa, yang walaupun satu spesies, namun sering terjadi pertempuran antar sarang yang berbeda. Dari sini kita melihat bahwa
'ukhuwah' semut Argentina yang berdasarkan kesamaan species mampu memberikan kekuatan untuk mengalahkan semut Eropa yang hanya
memiliki 'ukhuwah' berdasarkan kesamaan sarang.
Pada hewan, persaudaraan sering
hanya bertujuan untuk mempertahankan eksistensi dan melanjutkan keturunan. Sedang pada manusia - khususnya bagi muslim, seperti
telah disebutkan di atas, hal ini telah disebutkan secara eksplisit di dalam hadits maupun ayat Al Qur'an.
Memperhatikan kondisi umat Islam
dewasa ini, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan terkait dengan ukhuwah Islamiyah sebagai berikut:
Kurang idealnya hubungan antar
pribadi muslim (skala mikro)
Kalau kita memperhatikan uraian
di atas akan kita temui bahwa kita masih jauh dari kondisi ideal. Oleh karena itu kita perlu mencoba meniti tahapan-tahapan
dalam mewujudkan ukhuwah Islamiyah di antara umat Islam, khususnya di Jepang ini. Hal ini dapat kita awali dengan meningkatkan
kualitas dan kuantitas interaksi (termasuk interaksi maya melalui internet) dengan saudara kita, sehingga kita akan dapat
lebih mengenalnya sebagai tahap awal dari ukhuwah Islamiyah. Terkait dengan masalah ini Hasan Al Bashri pernah berujar, "Bertemu
dengan saudara kami lebih aku sukai daripada isteri dan anak kami. Karena keluarga kami mengingatkan kami dengan dunia, sedangkan
saudara kami mengingatkan kami dengan akhirat." (Ihya Ulumuddin,2/176)
Untuk itu antara lain kita perlu
lebih mengaktifkan organisasi-organisasi lokal keislaman di lingkungan kita.
Walaupun demikian untuk lebih mengefektifkan
interaksi tersebut, perlu kita perhatikan nasihat Ibnul Qayyim yang menyebutkan bahwa pertemuan para saudara itu terbagi dua.
Yang pertama pertemuan sekedar melepas rindu dan melewati waktu, di mana pertemuan seperti ini lebih banyak bahayanya daripada
manfaatnya. Minimal, merusak hati dan menyia-nyiakan waktu. Yang kedua pertemuan para saudara untuk saling menasehati dalam
kebenaran dan kesabaran. Dan inilah harta yang paling bermanfaat. (Al Fawaid, Ibnul Qayyim)
Juga kita perlu memperhatikan amalan-amalan
ringan yang dapatmeningkatkan kecintaan kita kepada saudara kita, di antaranya dengan:
- Menyebarkan salam setiap bertemu
- Bermujamalah (berwajah ceria) ketika
mendapat nimat
- Berta'ziah ketika ada yang mendapat
musibah
- Menjenguk orang sakit
- Mendo'akan orang bersin
- Saling memberi hadiah, dll.
Bercerai berainya umat Islam
(skala makro)
Tidak dapat kita pungkiri bahwa
umat Islam dewasa ini tidak dalam keadaan bersatu, baik dalam skala internasional maupun dalam skala nasional. Memang keragaman
pandangan dan sikap merupakan sebuah keniscayaan bagi kaum muslimin. (bahkan dalam Al Hujurat:10 di atas, perintah "faashlihu
baina akhowaikum" memberikan isyarat bahwa dalam kaum mu'min pun masih memungkinkan terjadinya perselisihan). Adanya ikhtilaf
dan perbedaan pendapat pun bukanlah sesuatu yang tabu, kecuali dalam masalah yang pokok dan nash-nash yang qath'i dan disepakati
(mis: aqidah).
Namun demikian setiap lembaga yang
mengusung nilai-nilai Islam (atau orang-orang yang berada dalam lembaga tersebut) seharusnya mampu untuk bekerja sama dalam
hal-hal yang telah disepakati, sambil tentunya tetap tidak meninggalkan kewajiban untuk saling menasihati dalam kebenaran
dan kesabaran. Hanya dengan hal itulah potensi umat Islam dapat tersalurkan dengan baik untuk memecahkan permasalahan umat
yang sangat beragam.
Juga jangan sampai kita terjangkit
penyakit ashobiyah, fanatisme terhadap golongan, di mana dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
"Bukan termasuk umatku orang yang
mengajak pada ashabiyah, dan bukan termasuk umatku orang yang berperang atas dasar ashabiyah, dan bukan termasuk umatku orang
yang mati atas dasar ashabiyah." (HR Abu Dawud)
Keberadaan musuh di luar Islam
Keberadaan musuh di luar Islam adalah
sebuah fakta yang tidak perlu ditutup-tutupi. Allah pun telah menyebutkannya dalam Al Baqarah:120 tentang tidak ridhonya kaum
Yahudi dan Nasrani terhadap umat Islam, hingga umat Islam meninggalkan diinnya dan mengikuti diin mereka. Dan juga permusuhan
syetan yang abadi terhadap keturunan Adam.
Terhadap kondisi yang telah jelas
- terang-benderang ini - seharusnya umat Islam tidak ragu-ragu lagi dalam bersikap. Apalagi di dalam tahun-tahun terakhir
ini, pertentangan-pertentangan ini sering muncul ke permukaan. Dalam skala dunia, mulai dari muculnya thesis Samuel Huntington
tentang bentrokan peradaban hingga yang paling mutakhir adalah pencanangan "War on Terrorism" dengan pemaknaan terorisme yang
bias. Lengkap dengan aksi-aksi sepihak di berbagai belahan bumi, seperti di Palestina, Bosnia dan Chechnya. Untuk lingkup
nasional pun kita masih tetap prihatin dengan konflik yang terjadi antara lain di Maluku dan Poso, yang mudah-mudahan segera
memberikan solusi yang terbaik.
Terhadap kondisi ini banyak yang
dapat dilakukan oleh kaum muslimin selain sekedar berdiam diri. Untuk kasus-kasus di mana terjadi penindasan umat Islam kita
dapat turut membantu dengan do'a kita, dengan dana kita, atau dengan opini yang berusaha kita bentuk. Sambil tentunya tidak
lupa kita memperkuat simpul-simpul kekuatan untuk mencegah penindasan di masa mendatang; kekuatan iman, kekuatan ukhuwah,
juga kekuatan pendukung lainnya, seperti persenjataan, ekonomi, dll.
Terakhir saya hanya ingin mengajak
kita untuk merenungkan ayat berikut:
Artinya: "Dan Yang mempersatukan
hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak
dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa, lagi Maha
Bijaksana." (Al Anfaal:63)
Semoga Allah menyatukan hati-hati
kita, menjadikan kita saling mencintai karena Dia; sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi Rasululllah saw
bersabda:
"Di sekitar Arsy ada menara-menara
dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya dan wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukan para nabi
atau syuhada'. Para nabi dan syuhada' iri kepada mereka. Ketika ditanya para shahabat, Rasulullah menjawab, "Mereka adalah
orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah dan saling kunjung karena Allah."
*Wallahu a'lam*