SUFI
DI
ZAMAN GLOBALISASI
Come, come, whatever you
are
It doesn't matter
Whatever you are
An infidel, an idolater, or a firewhorsiper
Come
Our convent is not
a place of despair
Come
Even if you violated your swear
A hundred times
Come again
(Maulana Jalaluddin Rumi)
Tujuh ratus
tahun lalu sebelum manusia pernah bermimpi apakah pikiran tentang globalisasi itu bakal singgah di benak manusia atau tidak,
Maulana Jalaluddin Rumi (lahir 30 September 1207 M di Balkh, Afghanistan) telah menghimbau kepada siapa saja, baik orang-orang
kafir, musyrik, maupun penyembah api untuk datang menghampirinya agar dapat ia membisikkan di telinga mereka bahwa Bumi Tuhan
bukanlah tempat untuk berputus asa dan betapa abadinya diri mereka.
Maka masalahnya sekarang bukanlah
'Apa jalan Sufi masih relevan di zaman globalisasi' melainkan 'Relevankah sikon globalisasi dalam menempuh jalan Sufi'. Karena
sesuatu yang sudah jelas dan final secara konsep tidak butuh lagi dipermasalahkan melainkan suka memakainya sebagai way
of life atau tidak. Yaitu kesufian, perjalanan individu manusia yang meng-Allah, yang aktualisasinya merupakan pengabdian
diri kepada seluruh umat manusia seumur hidup.
Sedang globalisasi adalah sebuah
nama yang baru saja muncul ke permukaan dan baru juga dalam proses dimasyarakatkan. Pendatang baru inilah yang perlu dipermasalahkan.
Apakah new comer yang memperkenalkan diri dengan sebuah nama yang mentereng ini masih beresensi purba yang fitri (ummatan
wahidatan) ataukah sudah diwarnai kepentingan pasar yang mendunia.
Maka diperlukan jawaban atas serentetan
pertanyaan yang akan menyusun sebuah Aqidah Globaliyah yang berhakekat (bukan buih). Yaitu kesadaran apa yang mendorong mereka
mengidealisasikan globalisasi, di atas dasar atau landasan apa bangunan globalisme ditegakkan, dengan apa dan cara bagaimana
menegakkannya, dan untuk tujuan apa gagasan itu diaktualisasikan.
Aqidah Globaliyah harus diungkapkan
secara terbuka karena hal itu sangat penting untuk memperjelas identitas diri manusia yang final, sejak status sampai fungsinya
yang mendasar di tengah semesta, sehingga menjadi jelas pula apa yang mesti dilakukan di dalam setiap proses pengungkapan
diri (sebab, qodar) dengan potensi dan teknologi (sumber daya alam, manusia, alat dan malaikat) yang dimiliki, melewati persyaratan
yang membolehkan berlansungnya proses (moralitas, kerasulan) di dalam batas (hukum, kitabullah) yang memastikan sampainya
tujuan (kemerdekaan yang abadi, malikiyah Allah).
Kalau aqidah yang hakiki ini telah
ditemukan dan disepakati bersama, maka globalisasi bukanlah masalah baru selain namanya saja. Karena sejak dini sudah dipancangkan
tanpa tedeng aling-aling oleh pembawa dan pelaksana Risalah Robbul Alamin, Muhammad.
Alternatif lain yang dikhawatirkan
adalah bila jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas akan menyusun sebuah paradigma kapitalisma atau dogma mistika yang
keduanya berada dalam kutub ekstrim yang tak mungkin dapat dipertemukan selamanya, kecuali di dalam pribadi yang pecah dari
dalam.
Yang disebut paradigma kapitalisma
adalah seperangkat aturan yang hanya mengacu kepada pemilikan sarana secara berlimpah bagaimanapun caranya tanpa peduli apa
kata fihak lain tentang dirinya. Suatu orientasi keruangan yang berbau kolonialis dan imperialis dengan wajah dan gayanya
yang baru, supaya tetap bisa mengeksploitir bumi sampai keropos.
Teknologi canggih merupakan senjata
handalan mereka satu-satunya. Dan saking mantapnya terhadap pusaka handalan yang telah berhasil melumpuhkan keganasan alam,
akan diberlakukan juga untuk menghadapi tantangan yang datang dari sumber daya insani. Seolah telah menemukan suatu keyakinan
bahwa apa yang bisa digunakan untuk menundukkan alam pastilah dapat didayagunakan untuk menguasai manusia.
Target mereka adalah penguasaan
kodrat dengan kekuatan intelegensi untuk memperoleh kenikmatan yang sebesar-besarnya di dalam kehidupan duniawi. Proses transendensi
yang bersifat vertikal keruangan ini hanyalah akan menggapai tawaran syeitan kepada Adam yang berupa 'Mulkul la yabla', kerajaan
yang tak pernah binasa, yang membuat Adam tergeser tempat tinggalnya dari surga (Surat Thaahaa:120). memang mereka tergolong
orang yang tahu tetapi tidak mau. Di dalam Ummul Kitab mereka diberi identitas sebagai golongan Maghdlub (dimurkai).
Berdiri pada kutub lain adalah golongan
kharismatik yang berorientasi pada penguasaan diri tanpa mempedulikan penguasaan sarana. Target yang hendak dicapai adalah
penguasaan Iradah dengan kekuatan kemauan/willing demi memperoleh Rahmat yang berkesinambungan di dalam kehidupan spiritiualnya.
Dengan kharismanya yang tinggi akan mudah seseorang menguasai opini kemudian menggerakkan umat.
Kemampuan mereka mengantisipasi
waktu yang bersifat horisontal membuahkan nama besar sebagai pahlawan kemanusiaan, perdamaian, dan lain sebagainya. Inilah
tawaran setan yang lain kepada Adam yang berupa 'Syajarotul Khuldi', pohon kehidupan yang abadi, yang sempat menggugurkannya
dari singgasananya di surga. Identitas mereka di dalam Ummul Kitab sebagai golongan Dlollun (tersesat).
Dua golongan yang berdiri di atas
kutub yang bertentangan itu disimbolkan di dalam Al Quran sebagai golongan Firaun yang tewas menghadapi Nabi Musa a.s. dan
golongan Bilkis yang runtuh di depan Nabi Sulaiman a.s.
Kalau tidak untuk menghindar dari
esensi yang hakiki (Akidah Globaliyah, Rukun Iman) mengapa kita butuh menampilkan diri dengan nama baru. Kurang kerenkah Aqidah
Islamiyah kita, atau sekedar penyamaran supaya mereka yang Islam-Phobi meninggalkan kancah globalisasi.
Mari kita simpan sebentar persepsi
kita tentang kenyataan dan tatap langsung kenyataan secara utuh dan telanjang. Ide apa yang dibungkus rapat-rapat dengan seribu
nama baru yang menjadi satu-satunya alternatif yang mau tidak mau akan diterima juga oleh manusia dan zamannya, selain ide
yang sejak dulu ditawarkan oleh Rabbul Alamin kepada kita. Ya, tatkala kebanyakan manusia masih senang menonton kenyataan
dengan seribu kaca mata yang buram.
Takutkah kita dengan konsistensi
sebuah nama, atau dengan alasan primitif bising telinga mendengar suara adzan. Bukankah shalat merupakan penguapan diri yang
akan menggumpal menjadi awan dan turun menjadi hujan yang menyiram semua, baik yang mukmin maupun yang kafir. Atau ngeri dihimbau
untuk berpuasa di bulan Ramadlan di tengah gelimang sarana yang mewah dan berlimpah. Bukankah puasa adalah berhenti memungut
isi bumi buat konsumsi fisik shaimin, yang berarti memberi kesempatan pihak lain untuk memanfaatkannya. Siapa yang paling
awal memberi sebelum mereka melangkah keluar. Bukankah memberi yang tertinggi nilainya adalah memberi yang tanpa mengulurkan
tangan, sehingga pihak penerimanya tidak pernah merasa diberi. Dan dengan demikian mereka tidak pernah menanggung beban moral
sebagai pihak penerima.
Aktualisasi globalis mana yang menandingi
nilai keikhlasan seorang mushallin dan shaimin. Padahal di dalam ruang lingkup agama, Fitrah salat dan puasa masih merupakan
tahap awal (pra-eksistensial) di dalam pembentukan diri sebagai seorang mukmin.
Tanpa
dihimbau ummat Islam telah menunaikan Shalat dan Puasa yang pancarannya mensemesta (bersifat globalis). Mengapa kita tidak
memupuk perkebunan kita yang telah tumbuh sejak dini dan berhasil mewarnai untaian Nusantara dengan warna zamrut. Bukankah
globalisasi yang murni berwarna zamrut?